KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
S.W.T yang menganugerahkan kepada kita semua sumberdaya perikanan dengan
potensi yang bernilai tinggi, untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan serta
sebagai upaya dalam menjaga kelestariannya.
Sehubungan dengan itu, penyusun tesis makalah yang berjudul “Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada maxima)”, sebagai tugas
pada mata kuliah Dasar-dasar Budidaya dapat diselesaikan.
Sangat disadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga apa yang
tertuang dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya maupun mahasiswa fakultas
perikanan lain pada umumnya.
Selong,
2012
Kelompok
III
DAFTAR
PUSTAKA
Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………
·
Latar Belakang
………………………………………………………………………………………
·
Maksud dan Tujuan
………………………………………………………………………………
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………………
·
Pemeliharaan Induk ……………………………………………………………………………
·
Seleksi Induk …………………………………………………………………………………………
·
Pemijahan ……………………………………………………………………………………………………
·
Pemeliharaan
Larva………………………………………………………………………………
·
Pendederan …………………………………………………………………………………………………
·
Teknik Penyuntikan Tiram Mutiara
………………………………………
KESIMPILAN DAN
SARAN ……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………………………………………
|
i
ii
1
2
3
5
6
10
14
15
18
19
|
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam dasawarsa terakhir ini banyak
bermunculan pihak swasta yang membuka usaha dibidang budidaya mutiara. Pesatnya
perkembangan budidaya tersebut disebabkan oleh besarnya potensi perairan
Indonesia, yang sangat memungkinkan untuk melakukan pengembangan budidaya.
Seiring dengan semakin bertambah
banyaknya jumlah usaha budidaya mutiara, maka kebutuhan akan induk yang siap
operasi juga terus meningkat. Namun
sayangnya pasokan induk dari alam jumlahnya sangat terbatas, solusi yang
dijalani oleh setiap perusahaan adalah melakukan kegiatan pembesaran. Permasalahan yang muncul yaitu kontinuitas
dan jumlah benih atau spat dari alam tidak dapat dipastikan. Alternatif utama
yang dapat ditempuh adalah melakukan penyediaan benih secara buatan melalui
hatchery.
Induk yang baik merupakan syarat utama
untuk produksi massal spat, karena induk yang berkualitas akan mampu
menghasilkan telur – telur berkualitas pula.
Muaranya, larva maupun spat yang berasal dari telur berkualitas tinggi
akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan kelangsungan hidup tinggi serta
pertumbuhan yang baik. Tentu saja
pencapaian tersebut perlu di tunjang oleh beberapa factor pemeliharaan yang
lain, seperti pakan dan kualitas air atau pengelolaan air yang baik.
Kabupaten Lombok Timur
memiliki sumberdaya alam (kelautan dan perikanan) yang cukup besar sehingga
kedepan menjadi harapan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai peluang investasi yang dapat
dikembangkan di bidang Kelautan dan Perikanan adalah investasi pada bidang Penangkapan , Budidaya Laut, Budidaya Air
Payau dan Budidaya Air Tawar.
Ragam potensi budidaya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan lebih
jauh dan berkelanjutan (Sustainable).
Selain
potensi perikanan tangkap, laut Lombok Timur juga potensial untuk kegiatan
budidaya laut yaitu mutiara, ikan kerapu, udang lobster, rumput laut, teripang
dan kekerangan. Potensi budidaya mutiara 3.433,65 ha; ikan kerapu 509,40 ha;
udang lobster 525,68 ha; rumput laut 2.000,00 ha; teripang 194,00 ha; dan
kerang - kerangan 179,50 ha.
Pemanfaatan
potensi budidaya laut sampai dengan saat ini adalah budidaya mutiara 1.805,50
ha; budidaya ikan kerapu 6,50 ha; budidaya udang lobster 12,37 ha; budidaya
rumput laut 232,58 ha; sedangkan potensi budidaya teripang dan kerang - kerangan
belum termanfaatkan (Anonymous, 2006)
Potensi
pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton Ha dan baru di
mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai 0,20 ton. Permintaan
Mutiara produksi Lombok sangat diminati baik oleh pembeli dalam Negeri maupaun
manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya
dengan produksi daerah lain.
1.2. Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun dengan maksud untuk meningkatkan
pemahaman Mahasiswa Fakultas Perikanan – Universitas Gunung Rinjani, tentang
apa, bagaimana teknik pembudidayaan tiram mutiara. Sedangkan tujuannya adalah sebagai
bahan/materi perkuliahan pada mata kuliah Dasar – dasar Budidaya dan Biologi
perikanan, khususnya bagi kalangan Fakultas perikanan dilingkup Universitas
Gunung Rinjani.
PEMBAHASAN
Mutiara terbentuk akibat respon
dari tiram untuk menolak rasa sakit secara Konsentris akibat masuknya benda
asing kedalam tubuhnya, lapisan tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi
oleh tiram berupa cairan nacre yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya
berkilau. Tetapi bila lapisan terluarnya
tidak terdiri dari nacre, mutiara akan memperlihatkan warna – warni yang
menggairahkan yang biasa disebut “ORIENT” yang membuat mutiara bernilai tinggi
dan mahal.
1.1 PEMELIHARAAN
INDUK
Pemeliharaan
induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan menggunakan rakit apung,
long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan pendederan dengan
menggunakan pocket net atau pocket keranjang.
Pada umumnya pemeliharaan induk dilakukan di laut karena selain
menghemat biaya, juga untuk pematangan induk kualitas akan lebih baik dilakukan
di alam, karena dapat memperoleh pakan yang lebih variatif dengan nilai
nutrient yang lebih lengkap. Pemeliharaan induk dilakukan dengan tujuan
menunggu agar induk matang gonad dan siap dipijahkan.
1.1.1 Penyediaan Induk
Tiram mutiara
yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari alam dan hasil
pembenihan. Induk yang diambil dari alam
biasanya perlu diaklimatisasi, karena induk tersebut habitatnya berasal dari
laut pada kedalaman 20 – 60 meter, dipindahkan ke tempat budidaya yang lebih
dangkal, sehinga tiram perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidup
yang baru. Sedangkan induk yang berasal dari hatchery biasanya langsung dapat
dipijahkan, karena sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan budidayanya dan
ukurannya seragam.
Induk tiram
mutiara diaklimatisasi selama 1 – 2 bulan, dipelihara menggunakan pocket
keranjang dan digantung pada rakit apung dikedalaman 4 – 6 meter. Satu pocket keranjang di isi 8 – 10 ekor
tiram. Secara priodik antara 1 – 2 bulan
sekali, induk dibersihkan dari kotoran dan organisme yang menempel dengan
menggunakan pisau dan sikat, kemudian dimasukkan kembali ke dalam pocket
keranjang yang bersih dan digantung pada rakit dengan kedalaman 6 – 8 meter.
Apabila kita
mendapatakan atau mengambil induk dari luar daerah, maka yang harus diperhatikan
adalah ;
·
Pengangkutan atau pengiriman induk dapat dilakukan dengan
menggunakan metode pengangkutan kering (Dry method)
·
Induk dimasukkan pada kotak styropoam
·
Lapisi dasar styropoam dengan menggunakan handuk atau
busa yang dibasahi air laut.
·
Susun induk secara sejajar dan searah (bagian anterior
tiram yang satu ditindih bagian dorsal tiram yang lain)
·
Setiap satu lapisan tiram diselingi dengan lapisan handuk
atau busa yang dibasahi air laut, begitu seterusnya hingga wadah penuh.
·
Selipkan Es batu air laut yang dibungkus plastic, untuk
menjaga suhu rendah agar tetap stabil selama perjalanan.
1.1.2 Pemeliharaan Induk di Laut
Pemeliharaan
Induk di laut dengan mengisi pocket net atau keranjang kawat dengan induk
tiram, kemudian diikat dan digantung pada rakit atau long line dengan kedalaman
5 – 8 meter, dan dalam setiap bulan tiram dibersihkan dari organisme yang
menempel pada cangkang tiram.
Untuk
menghindari adanya gangguan dari organisme pengebor (borring worn dan borring
sponge), maka setiap 2 – 3 bulan sekali perlu dilakukan perendaman dengan air
tawar atau larutan garam pekat. Calon
induk tiram yang direndam dalam larutan garam pekat, ternyata menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan.
1.1.3 Pemeliharaan Induk di Laboratorium
Pemeliharaan
Induk di Laboratorium berbeda dengan pemeliharaan induk di laut, dimana
pemeliharaan Induk di Laboratorium menggunakan bak yang terbuat dari bahan
fiber glass untuk menempatkan induk tiram, dengan suhu air media antara 25 – 280C
dan kondisi ruangan yang terkendali. Induk tiram diberi pakan berupa campuran
beberapa jenis alga dengan ratio 4 liter per ekor/hari, sebagai pakan tambahan
diberikan tepung jagung sebanyak 30 gram per ekor/hari. Tiram dengan gonad
matang penuh yang diberi formulasi pakan tersebut akan menunjukkan respon
memijah setelah 45 hari dari perlakuan dengan tingkat respon 30%.
1.2 SELEKSI INDUK
Untuk menyeleksi
induk tiram dapat dilakukan di atas rakit atau di laboratorium. Induk – induk tiram yang akan di seleksi
ditempatkan pada tempat yang datar dengan posisi tiram berdiri atau dorsal di
bawah. Beberapa saat kemudian cangkan
tiram akan terbuka dengan sendirinya, karena kekurangan olsigen.
Setelah cangkang
tiram terbuka sebagian, segera gunakan alat pembuka cangkang (Shellopener), agar cangkang tetap
bertahan terbuka, maka gunakan baji untuk mengganjal cangkang tersebut. Dan dalam proses pembukaan cangkang tiram
hendaknya jangan dipaksa, karena akan mengakibatkan pecahnya cangkang.
Langkah
berikutnya adalah melihat posisi gonad,
disini kita dapat melihat posisi gonad dengan menggunakan alat Spatula. Dengan Spatula, insang tiram akan kita buka
dan posisi gonad akan terlihat jelas, maka secara fisual dapat kita ketahui
tingkat kematangan gonadnya. Kondisi gonad
yang mata penuh atau stadia IV adalah seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup
oleh gonad, kecuali bagian kaki.
Klasifikasi
tiram yang memenuhi syarat untuk menjadi induk adalah ;
ü Ukuran antara 17
– 20 cm (DVM)
ü Cangkang
utuh/tidak cacat akibat serangan organisme pengebor (borring organism).
ü Cangkang tidak
rusak karena penanganan yang kasar.
ü Warna cangkang
terang.
Persyaratan yang paling penting adalah
tingkat kematangan gonad, induk yang baik kondisi gonadnya matang penuh atau
stadia IV (Winanto dkk, 1991;1997;1998).
Induk – induk yang telah memenuhi syarat seleksi segera dibawa ke laboratorium
untuk di pijahkan.
Seleksi kematangan gonad dilakukan setiap 1 (satu)
bulan sekali untuk memastikan bahwa induk tersebut siap dipijahkan atau
tidak. Induk siap pijah akan terlihat
warna kekuningan pada kantong gonadnya bagi induk betina dan bagi induk jantan
akan terlihat warna putih susu.
1.3 PEMIJAHAN
Induk tiram mutiara yang digunakan untuk pemijahan berasal dari alam
maupun dari hasil budidaya yang dipelihara di rakit apung atau long line.
Pemejihan secara alami sering kali terjadi pada
tiram yang telah dewasa, dalam kondisi gonad matang penuh tiram akan segera
memijah apabila terjadi perubahan lingkungan perairan walaupun sedikit.
Kemungkinan lain adalah shok mekanik yang terjadi karena perlakuan kasar pada
saat cangkang dibersihkan dan akibat mengalami perubahan perbedaan tekanan,
misalnya tiram alam atau tiram yang diambil dari habitat aslinya di dasar
perairan laut, lalu dibawa ke tempat budidaya yang relative dangkal, sehingga
memacu tiram untuk memijah.
Menurut
Winanto (1991), mengatakan bahwa
pemijahan juga bisa terjadi pada waktu dilakukan penggantian air atau
mengalirkan air ke dalam bak pemeliharaan induk.
Rekayasa pemijahan perlu dilakukan, apabila secara
alamiah tiram tidak mau memijah di bak pemijahan, namun induk yang akan
dipijahkan harus memenuhi syarat untuk dipijahkan. Induk tiram mutiara dapat dipijahkan di
laboratorium dengan mengunakan metode manipulasi lingkungan dan rangsang kimia.
1.3.1
Metode
Manipulasi Lingkungan
Metode manipulasi lingkungan yang
digunakan dan resiko keberhasilannya relatif tinggi yaitu dengan menggunakan
metode kejut suhu (Thermal shock),
fluktuasi suhu dan ekspose. Beberapa
teknik tersebut telah berhasil dilakukan oleh Loosanolp dan Davis (1963), Imai
(1982), CFMRI (1991) dan Winanto dkk (1992;1995;1997;1998).
Kejut suhu merupakan metode yang umum
digunakan, dalam teknik ini suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap
dengan bantuan alat healter, dari suhu awal 280C menjadi 350C. Induk – induk biasanya akan memijah setelah
60 -90 menit dari perlakuan, mula – mula terlihat induk bereaksi cepat membuka
dan menutup cangkang. Menjelang
pemijahan induk akan membuka cangkang lebar – lebar dan keluarlah sel –sel
gonad yang terlihat seperti keluarnya asap berwarna putih.
Metode manipulasi lingkungan yang lain
yaitu flutuasi suhu, jika suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 280C
ditingkatkan mejadi 33 - 350C, jika tiram belum memijah setelah 60 –
90 menit, maka suhu diturunkan kembali ke suhu awal, demikian seterusnya sampai
induk memijah.
Metode ekspose juga sering digunakan dan
ada kalanya dikombinasikan dengan metode kejut suhu, induk yang akan dipijahkan
dikeluarkan dari dalam air selama 15 – 30 menit, pada kondisi tertentu kadang –
kadang tiram perlu diekspose sampai sekitar 30 – 60 menit atau tergantung pada
kondisi induk tiram. Setelah masa ekspose, induk dimasukkan kembali ke dalam
bak pemijahan, induk yang matang gonad penuh biasanya akan cepat memijah. Pemijahan bisa tidak terjadi jika kondisi
gonad belum mencapai matang penuh, pada kondisi ini dapat dikombinasikan dengan
metode kejut suhu.
1.3.2
Rangsang Bahan
Kimia
Pengunaan bahan kimia juga sering
dilakukan untuk memijahkan tiram mutiara, tetapi hasil pembuahan (fertilisasi) biasanya kurang baik. Seperti halnya pada manipulasi lingkungan,
pengunaan bahan kimia juga bertujuan merubah lingkungan mikro tempat
pemijahan. Secara ekstrim bahan kimia dapat
dengan segera merubah pH air menjadi asam atau basa, yang bertujuan memberikan
shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel – sel gonadnya.
Jenis bahan kimia yang umum digunakan antara lain ;
Hidrogen Peroksida (H2O2)
Natrium Hidroksida (NaOH)
Amonium Hidroksida (NH4OH)
Amoniak (NH4) dan
Trace buffer
Hidrogen
peroksida dan amoniak pada konsentrasi 1,532; 3,064 dan 6,128 milimolar
dilarutkan ke dalam air laut normal atau air laut dengan pH 9,1. Larutan tris (Tris buffer) atau Natrium
hidrosida (NaOH) digunakan untuk merubah pH air menjadi 8,5; 9,0; 9,5 dan 10,
ternyata dapat merangsang induk memijah.
Pada pH 9 dengan tris buffer dapat merangsang pemijahan sampai 78,6%,
sedangkan pH 9,5 dengan NaOH berhasil memijahkan tiram sekitar 68,4%. Penyuntikan larutan Amonium hidroksida (NH4OH)
0,2 ml ke dalam otot adductor berhasil merangsang pemijahan sampai 48%.
Beberapa
perusahaan tiram mutiara di Indonesia dalam memijahkan biasanya menggunakan
bahan kimia amoniak atau rangsangan sel gonad – jantan. Teknik pemijahan rangsang gonad/sperma, dilakukan
dengan cara menyeleksi induk tiram mutiara jantan yang matang gonad penuh
kemudian dimatikan. Caranya, cangkang
tiram dibuka dengan menggunakan alat pembuka cangkang, kemudian otot
adductornya dipotong dengan pisau, dagingnya dikeluarkan dengan hati – hati.
Mantel dan insang dibuang, sehingga hanya tinggal bagian tubuh yang berisi
gonad, bagian tersebut disayat – sayat dan dimasukkan ke dalam beker glass yang
telah diisi air laut bersih, lalu diaduk hingga larut. Larutan gonad/sperma tersebut disaring dan
dimasukkan ke dalam bak pemijahan, sehingga induk – induk akan terangsang untuk
memijah. Namun, sebaiknya kedua cara itu
tidak dilakukan, karena selain tingkat fertilisasinya rendah (feconditas
rendah), biasanya banyak telur yang abnormal serta akan menguras isi gonad,
sehingga telur – telur yang masih prematurpun akan ikut keluar.
Penggunaan
bahan kimia dengan konsentrasi tinggi hampir sama dengan tindakan aborsi,
sehingga kurang menguntungkan bagi kesehatan induk. Tindakan pemijahan dengan rangsang gonad
sebenarnya tidak dianjurkan, karena teknologi pemijahan yang ada lebih
diarahkan untuk masyarakat nelayan dan pesisir, sehingga induk merupakan aset
yang sangat berharga disamping harganya relative mahal.
1.3.3
Proses Pemijahan
dan Pembuahan
Selama prosesi pemijahan, induk jantan biasanya
memijah terlebih dahulu baru diikuti induk tiram betina. Pengamatan yang dilakukan di Balai Budidaya
Laut mencatat, bahwa induk betina (Pintada
maxima) mengeluarkan sel – sel telur sekitar 25 – 30 menit setelah induk
jantan memijah. Pembuahan terjadi di
luar tubuh (eksternal) di dalam media
air dan pembuahan terjadi segera setelah sel telur dan sperma keluar. Telur – telur yang belum dibuahi bentuknya
menyerupai biji jeruk, sedangkan yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan
diameter antara 56 – 65 mikron.
Setelah semua telur dibuahi sesegera
mungkin dipanen, dikumpulkan dengan menggunakan saringan bertingkat
(Planktonnet) berukuran dari 100 µ atau 80 µ, 40 µ dan 20 µ. Selain itu berfungsi sebagai tempat penampungan
telur – telur, saringan juga bermanfaat untuk memisahkan antara kotoran dengan
telur. Telur – telur yang telah terkumpul kemudian dibilas dengan air laut
bersih dan dipindahkan ke dalam bak penetasan atau langsung ke bak pemeliharaan
larva dijadikan satu, pada kasus ini priode penggantian air harus benar – benar
diperhatikan, dan padat penebaran awal berkisar antara 5 – 7 sel/cc.
1.4 PEMELIHARAAN
LARVA
Salah satu kegiatan yang paling menyita perhatian dan sangat
menentukan dalam kegiatan pembenihan tiram mutiara adalah pemeliharaan larva. Priode
pemeliharaan larva sebenarnya dimulai sejak larva stadia D, atau setelah
berakhirnya stadia trocopore sampai stadia pediveliger atau plantigrade.
Kegagalan sering kali terjadi dalam produksi spat, karena penanganan
pemeliharaan larva yang kurang baik, utamanya pada saat larva mengalami saat –
saat kritis. Di dalam pengelolaan
pemeliharaan larva sangat perlu diperhatikan kondisi kualitas air; teknik serta
priode penggantian air; jenis, jumlah dan teknik pemberian pakan; jenis, jumlah
dan waktu pemasangan spat kolektor. Jika beberapa factor tersebut diperhatikan,
maka produksi spat akan berhasil seperti apa yang kita harapkan.
1.4.1
Proses
Perkembangan Awal
Proses
pembelahan sel terjadi setelah 40 menit dari pembuahan atau setelah penonjolan
polar I, polar II. Lima menit kemudian
sel mulai terbelah menjadi dua, 13 menit kemudian sel membelah menjadi empat,
pemebelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel dan sel terus membelah menjadi
multi sel atau stadia morula setelah 2,5 jam, pada setiap mikromernya
berkembang silia kecil yang berfungsi untuk membantu embrio bergerak. Stadia blastula dicapai setelah larva berumur
3,5 jam, gerakannya aktif berputar – putar.
Pada stadia gastrula (7 jam) bentuknya seperti kacang hijau, bersifat fhoto
negative dan bergerak dengan mengunakan silia (Alagarswami, at al, 1983).
Beberapa menit setelah silia menghilang,
maka berakhirlah fase gastrula dan mengalami metamorfose menjadi trochopore,
ditandai dengan adanya flagella tunggal pada bagian anterior yang berfungsi
untuk bergerak.
1.4.2
Perkembangan dan
Pemeliharaan Larva
Stadia veliger
atau larva bentuk D (D shape) dicapai setelah larva berumur 18 – 20 jam dan
berukuran 70x80 mikron. Pada stadia ini,
larva sudah mulai diberi makanmikro alga Isochrysis
galbana atau P. lutheri, jumlah pakan antara 3000 – 4000 sel/cc/hari diberikan
dua kali (pagi dan sore). Menurut Brusca (1990), larva stadia veliger bersifat fhoto fositif,
sehingga nampak berenang – renang disekitar permukaan air.
Menurut CMFRI (1991) dan Alagaswami at al, (1983), pada
stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan phytoplankton
spesies Isochrysis galbana dengan
kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Sedangkan
menurut Baker (1994) member pakan
jenis Isochrysis galbana strain
Tahiti terhadap larva dengan kepadatan 20.000 sel/ml.
Setelah 12 – 14 hari larva mengalami
metamorphose menjadi stadia umbo (130 x 135 mikron), ditandai dengan adanya
tonjolan (umbo) pada bagian dorsal.
Padat penebaran larva mulai dikurangi setelah mencapai stadia umbo,
dengan jumlah 5 – 7 ekor/cc. Pakan yang
diberikan ditambah menjadi 3000 – 4000 sel/cc/hari, aplikasinya dapat divariasi
campuran antara Isochrysis galbana dan
P. lutheri dengan perbandingan 1 :
1. Flagelata Isochrysis galbana merupakan jenis pakan yang paling baik bagi larva
bivalvia di daerah tropis (Ver, 1981).
Menurut Winanto dan Dhon (1998), Larva yang sehat dicirikan oleh aktifitas gerak,
distribusi dan warna bagian perutnya.
Larva yang sehat nampak bergerak aktif berputar dengan menggunakan
silianya, mereka akan menyebar merata terutama pada bagian lapisan permukaan
dan tengah, sedangkan yang berada dibagian bawah kondisinya kurang baik. Secara mikroskopis, larva yang sehat akan
aktif memburu pakan sehingga bagian perutnya berwarna kuning tua, larva yang
cukup akan (sedang) bagian perutnya berwarna kuning dan larva yang tidak mau
makan perutnya berwarna kuning muda.
Menurut Loosanoff dan Davis (1963), bahwa
warna larva dapat bervariasi tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi,
tetapi larva yang sehat biasanya berwarna coklat keemasan, terutama dibagian
saluran pencernaan (Digestive
diverticulum). Pada stadia awal,
warna larva dapat berubah nyata bila mengkonsumsi pakan dengan warna yang
berbeda. Namun, seiring dengan
pertumbuhan larva dan cangkangnyapun semakin bertambah tebal, maka pengaruh
warna pakan tidak terlihat lagi.
Selama
pemeliharaan larva, media air yang digunakan sebaiknya diperlakukan melalui sinar
ultra violet, sehingga larva dapat terhindar dari infeksi jamur dan membunuh
spora atau bakteri, serta kompititor yang hidup bersama di media
pemeliharaan. Untuk menjaga kualitas
air, maka perlu dilakukan penggantian air setiap 2 – 3 hari sekali sebanyak 50
– 100 %.
Setelah larva
mencapai stadia pediveliger atau umbo akhir, berumur antara 18 – 20 hari dan
berukuran 200 – 190 mikron, larva mulai mencari tempat untuk menetap. Fase transisi atau fase akhir kehidupan
planktonis larva terjadi pada hari ke 20 – 22, atau disebut stadia
platigrade. Larva plantigrade ditandai
dengan tumbuhnya cangkang baru disepanjang periphery, benang – benang bisus
diproduksi untuk menempelkan diri pada substrat dan larva berukuran sekitar 200
x 230 mikron.
Menurut Segal (1990), menyatakan bahwa pada
saat larva mengalami metamorphose dan fase menetap, merupakan masa kritis yang
cukup ekstrim selama masa hidupnya.
Sedangkan Bayne (1976) menyatakan bahwa aksi penempelan yang
ditunjukkan oleh larva pediveliger merupakan gerakan menurun, dari stadia
planktonis yang berada disekitar permukaan ke dasar perairan, disertai dengan
gerakan berenang dan kebiasaan berputar – putar dan akhirnya mengeluarkan
benang bisus untuk menempel pada substrat.
Hal inilah yang menandai dimulainya kehidupan bentik atau menetap di
dasar. Jika tidak menemukan substrat
yang cocok, larva biasanya akan cenderung menunda priode metamorfosenya.
Penempelan
adalah proses tingkah laku yang ditunjukkan oleh larva stadia akhir. Awalnya larva menggunakan kakinya untuk
berenang dan bergerak perlahan – lahan saat akan menempel pada substrat. Jika jenis substrat yang ditempeli cocok maka
larva akan menetap, selanjutnya akan terjadi proses metamorphose dari larva
berubah menjadi spat (Juvenil). Secara keseluruhan proses ini disebut
menempel (setting) atau spatfall, yang merupakan fase kritis dalam siklus hidup
tiram. Identifikasi dari factor – factor
yang mempengaruhi keberhasilan fase menempel atau spatfall akan sangat
bermanfaat atau dapat memberikan informasi tentang prosedur yang lebih efisien
dalam pengembangan hatchery.
1.5 PENDEDERAN
Priode spat
merupakan awal dari kehidupan menetap tiram.
Pada stadia ini sangat dibutuhkan substrat yang cocok untuk menempel,
kondisi awal spat merupakan masa yang sangat kritis, karena bisusnya belum
permanen, titik kritis terjadi pada pada D 40 sampai dengan ukuran 3 cm dengan
SR 5%. Bila ada gerakan air yang sangat
kuat, ada kemungkinan bisusnya akan putus, namun bisus akan segera disekresikan
kembali. Tetapi jika saat bisus putus
dan spat jatuh ke dasar bak pemeliharaan, maka ada kemungkinan spat akan mati
karena di dasar bercampur dengan kotoran maupun substansi lain yang kurang baik
bagi kelangsungan hidup spat.
Pemeliharaan spat
sebenarnya tidak sulit, bahkan boleh dikatakan jika masa pemeliharaan spat
sudah melewati dua minggu pasti spat akan hidup. Penanganan yang ekstra hati – hati pada awal
pertumbuhan spat sangat diperlukan.
Setelah spat menempel dengan bisus permanen, keadaannya tidak perlu
dikhawatirkan lagi, karena pengelolaan air dapat dilakukan dengan system
sirkulasi.
Pada umumnya spat
yang berumur 2 – 3 bulan atau ukuran 5 – 10 mm DVM dapat dipindahkan ke tempat
pembesaran di laut setelah 1 bulan dipelihara di laboratorium. Benih yang masih menempel pada kolektor
dimasukkan ke dalam pocket net dan dibungkus dengan waring (# 2 – 3 mm), untuk
mencegah gangguan predator (jenis ikan Ostraciidae,
Monacanthidae dan Blenidae) dan mengurangi menempelnya kotoran. Ukuran mata waring yang lebih kecil kurang
efektif untuk tingkat kelangsungan hidup, dapat menghambat pertumbuhan dan
sulit membersihkan. Setelah benih
mencapai ukuran 2 – 3 cm mulai dijarangkan, dipelihara secara individu di dalam
pocket net. Pada ukuran 2 – 3 cm benih
sudah dapat dijual atau dibesarkan hingga mencapai ukuran yang memenuhi syarat
untuk mudidaya mutiara yaitu ukuran 15 cm DVM.
Pendederan tiram
mutiara menggunakan dua metode yaitu metode rakit dan long line. Adapun
kegiatan yang harus dilakukan selama pemeliharaan adalah pembersihan dan penjarangan
serta seleksi menurut ukuran.
Dalam satu siklus pendederan
memerlukan waktu selama 10 bulan dengan ukuran spat mencapai rata – rata 0,7 –
1 cm per bulan.
1.6 TEKNIK
PENYUNTIKAN TIRAM MUTIARA
Dalam penyuntikan tiram mutiara perlu
persiapan yang harus diperhatikan yaitu ; Seleksi tiram, pemuasaan dan
persiapan alat/bahan Insersi
1.6.1 Seleksi Benih siap Operasi
Sebelum
melaksanakan operasi atau penyuntikan, terlebih dahulu benih tiram
diseleksi. Tiram yang akan di operasi
harus memenuhi syarat yaitu, berumur 1,5
– 2 tahun dan berukuran 10 – 15 cm, serta tiram dalam kondisi sehat atau tidak
cacat dan dalam keadaan bersih.
1.6.2 Pemuasaan (Yokusei)
Tiram yang
akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemuasaan (Yokusei), yang tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah plankton
yang dimakan agar tubuh tiram menjadi cukup lemas, dengan cara ini pada saat
operasi tiram tersebut tidak terlalu kuat mengadakan reaksi terhadap sakitnya
sayatan pada gonadnya.
Benih tiram yang di Yokusei, dimasukkan ke pocket keranjang lalu dibungkus menggunakan
waring ukuran 1 mm. Pemuasaan dilakukan selama 3 – 5 hari, setelah itu tiram
diangkat dari perairan dan pembungkus dibuka, baru kemudian memulai penyuntikan.
1.6.3 Alat dan Bahan Insersi
Ada beberapa
alat dan bahan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan operasi yaitu ;
- Alat Operasi
Hikake (Penahan)
|
Piseto
|
SONYUKI dan SHAIBO OKURI (Pemasuk Inti dan pemasuk mantel)
|
MESU (pisau operasi)
|
DONYUKI (pembuka torehan)
|
SONYUKI (pembuka mantel
|
HERA dan KAI KOKI (pembuka mantel dan Forcep)
|
SHAIBOHASAM (Gunting,pemotong mantel)
|
- Bahan Insersi
Siput donor
|
Siput siap
operasi
|
Nukleus
|
- Kegiatan Insersi
Pemotongan
mantel
|
Pengambialan
Inti
|
Pemasukan Inti
|
1.6.4
Pemeliharaan Tiram
Pasca Pemasukan Inti
Setelah pemasangan inti selesai
dilakukan, segera masukkan kembali tiram yang sudah dioperasi ke dalam pocket
keranjang dan digantung di rakit pemeliharaan atau harus dengan segera
dimasukkan ke dalam air dengan perlakuan yang sangat hati – hati untuk
diistirahatkan.
Selama ± 3
bulan setelah pemasangan inti, dalam 3 hari sekali posisi tiram dibolak balik,
itu biasanya di sebut masa Tento, yaitu posisi tiram yang tadinya domersal,
tiga hari kemudian dibalik ke posisi samping, tiga hari berikutnya menghadap
kebawah, begitu seterusnya selama masa tento. Dan kebersihannya tetap dijaga
dari gangguan organisme.
Setelah masa
pemeliharaan 18-24 bulan, panen dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
pengambilan contoh untuk memperkirakan besarnya ukuran mutiara yang diinginkan.
Biasanya ditemukan bentuk–bentuk mutiara yang tidak bundar sempurna, bahkan ada
bentuk lonjong barouk dan bintik-bintik/spol, hal ini dapat terjadi karena
kurang cermatnya penanganan dalam masa pemeliharaan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50
ton Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai
0,20 ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat di minati baik oleh pembeli
dalam Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan
tersendiri yang membedakannya dengan produksi daerah lain.
Mutiara terbentuk akibat respon
dari tiram untuk menolak rasa sakit secara Konsentris akibat masuknya benda
asing kedalam tubuhnya, lapisan tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi
oleh tiram berupa cairan nacre yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya
berkilau.
Pemeliharaan
induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan menggunakan rakit apung,
long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan pendederan dengan
menggunakan pocket net atau pocket keranjang.
Saran
Diharapkan untuk
masa – masa yang akan datang, perlu kiranya pemahaman yang lebih mendalam lagi
tentang aspek-aspek yang mempengaruhi budidaya tiram mutiara, baik itu aspek
pemilihan lokasi (faktor resiko, factor ekologi), Sarana pembenihan, Biologi
tiram mutiara, Kultur pakan hidup, dan Hama penyakit tiram mutiara.
DAFTAR
PUSTAKA
Alagarswami,
at al, 1983. Larva Rearing and
Productionof Spat of Pearl Oyster Pinctada
fucata (Gould). Aquacultur 3.Elsivier Science Publisher.B.V.Amsterdam.
Pg.287-301.
Anonymous, 2006. Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten
Lombok Timur.
Bayne,
1976. Mutiara, Lembaga Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta.
Brusca, 1990. Merine Ecology.
Baker, 1994.
CMFRI,
1991. Pearl Oyster Farming and Pearl
Cultur. Training Manual No.8. Regional Seafarming Development and Demonstration
Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Loosanoff,
V dan Davis, H., 1963. Rearingof Bivalve Mollusks. US Beureuof Commercial
Fisheris Biological Laboratory. Mildford, Connecticut. 130 p.
Segal,
E., 1990. Light, Animal,
Invertebrates.Merine Ecology, A Comprehensive, Integrated Treatise on Life in
The Oceans and Coatal Waters. Vol I.Environmental Factors.PartI.
Wiley-Interscience.London,Pg: 159-212.
Ver, 1981
Winanto,T.,
1991. Pembenihan Tiram Mutiara. Buletin Budidaya Laut no.1. Balai Budidaya
Laut. Lampung
Winanto,T
dan S.Basi Dhon., 1998. Rekayasa Teknologi Pemeliharaan Larva Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Pertemuan Koordinasi
dan Pemantapan Rekayasa Teknologi Pembenihan Lintas UPT, Ditjen. Perikanan,
Maret 1998. Puncak, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar