Kamis, 30 Agustus 2012

BUDIDAYA TIRAM MUTIARA



 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang menganugerahkan kepada kita semua sumberdaya perikanan dengan potensi yang bernilai tinggi, untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan serta sebagai upaya dalam menjaga kelestariannya.  Sehubungan dengan itu, penyusun tesis makalah yang berjudul “Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada maxima)”, sebagai tugas pada mata kuliah Dasar-dasar Budidaya dapat diselesaikan.
Sangat disadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga apa yang tertuang dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya maupun mahasiswa fakultas perikanan lain pada umumnya.


Selong, 2012
                                                                                       Kelompok III







DAFTAR PUSTAKA
    
                                                 Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………
·         Latar Belakang ………………………………………………………………………………………
·         Maksud dan Tujuan ………………………………………………………………………………
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………………
·         Pemeliharaan Induk ……………………………………………………………………………
·         Seleksi Induk …………………………………………………………………………………………
·         Pemijahan ……………………………………………………………………………………………………
·         Pemeliharaan Larva………………………………………………………………………………
·         Pendederan …………………………………………………………………………………………………
·         Teknik Penyuntikan Tiram Mutiara ………………………………………
KESIMPILAN DAN SARAN ……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………
i
ii

1
2

3
5
6
10
14
15
18
19


PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Dalam dasawarsa terakhir ini banyak bermunculan pihak swasta yang membuka usaha dibidang budidaya mutiara. Pesatnya perkembangan budidaya tersebut disebabkan oleh besarnya potensi perairan Indonesia, yang sangat memungkinkan untuk melakukan pengembangan budidaya.
Seiring dengan semakin bertambah banyaknya jumlah usaha budidaya mutiara, maka kebutuhan akan induk yang siap operasi juga terus meningkat.  Namun sayangnya pasokan induk dari alam jumlahnya sangat terbatas, solusi yang dijalani oleh setiap perusahaan adalah melakukan kegiatan pembesaran.  Permasalahan yang muncul yaitu kontinuitas dan jumlah benih atau spat dari alam tidak dapat dipastikan. Alternatif utama yang dapat ditempuh adalah melakukan penyediaan benih secara buatan melalui hatchery.
Induk yang baik merupakan syarat utama untuk produksi massal spat, karena induk yang berkualitas akan mampu menghasilkan telur – telur berkualitas pula.  Muaranya, larva maupun spat yang berasal dari telur berkualitas tinggi akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan kelangsungan hidup tinggi serta pertumbuhan yang baik.  Tentu saja pencapaian tersebut perlu di tunjang oleh beberapa factor pemeliharaan yang lain, seperti pakan dan kualitas air atau pengelolaan air yang baik.
Kabupaten Lombok Timur memiliki sumberdaya alam (kelautan dan perikanan) yang cukup besar sehingga kedepan menjadi harapan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Berbagai peluang investasi yang dapat dikembangkan di bidang Kelautan dan Perikanan adalah investasi pada bidang Penangkapan , Budidaya Laut, Budidaya Air Payau dan Budidaya Air Tawar. Ragam potensi budidaya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan lebih jauh dan berkelanjutan (Sustainable).
Selain potensi perikanan tangkap, laut Lombok Timur juga potensial untuk kegiatan budidaya laut yaitu mutiara, ikan kerapu, udang lobster, rumput laut, teripang dan kekerangan. Potensi budidaya mutiara 3.433,65 ha; ikan kerapu 509,40 ha; udang lobster 525,68 ha; rumput laut 2.000,00 ha; teripang 194,00 ha; dan kerang - kerangan 179,50 ha.
Pemanfaatan potensi budidaya laut sampai dengan saat ini adalah budidaya mutiara 1.805,50 ha; budidaya ikan kerapu 6,50 ha; budidaya udang lobster 12,37 ha; budidaya rumput laut 232,58 ha; sedangkan potensi budidaya teripang dan kerang - kerangan belum termanfaatkan (Anonymous, 2006)
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai 0,20 ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat diminati baik oleh pembeli dalam Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan produksi daerah lain.

1.2.   Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman Mahasiswa Fakultas Perikanan – Universitas Gunung Rinjani, tentang apa, bagaimana teknik pembudidayaan tiram mutiara.  Sedangkan tujuannya adalah sebagai bahan/materi perkuliahan pada mata kuliah Dasar – dasar Budidaya dan Biologi perikanan, khususnya bagi kalangan Fakultas perikanan dilingkup Universitas Gunung Rinjani.


PEMBAHASAN

Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau.  Tetapi bila lapisan terluarnya tidak terdiri dari nacre, mutiara akan memperlihatkan warna – warni yang menggairahkan yang biasa disebut “ORIENT” yang membuat mutiara bernilai tinggi dan mahal.

1.1  PEMELIHARAAN INDUK
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang.  Pada umumnya pemeliharaan induk dilakukan di laut karena selain menghemat biaya, juga untuk pematangan induk kualitas akan lebih baik dilakukan di alam, karena dapat memperoleh pakan yang lebih variatif dengan nilai nutrient yang lebih lengkap. Pemeliharaan induk dilakukan dengan tujuan menunggu agar induk matang gonad dan siap dipijahkan. 

1.1.1  Penyediaan Induk
Tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari alam dan hasil pembenihan.  Induk yang diambil dari alam biasanya perlu diaklimatisasi, karena induk tersebut habitatnya berasal dari laut pada kedalaman 20 – 60 meter, dipindahkan ke tempat budidaya yang lebih dangkal, sehinga tiram perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidup yang baru. Sedangkan induk yang berasal dari hatchery biasanya langsung dapat dipijahkan, karena sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan budidayanya dan ukurannya seragam.
Induk tiram mutiara diaklimatisasi selama 1 – 2 bulan, dipelihara menggunakan pocket keranjang dan digantung pada rakit apung dikedalaman 4 – 6 meter.  Satu pocket keranjang di isi 8 – 10 ekor tiram.  Secara priodik antara 1 – 2 bulan sekali, induk dibersihkan dari kotoran dan organisme yang menempel dengan menggunakan pisau dan sikat, kemudian dimasukkan kembali ke dalam pocket keranjang yang bersih dan digantung pada rakit dengan kedalaman 6 – 8 meter.
Apabila kita mendapatakan atau mengambil induk dari luar daerah, maka yang harus diperhatikan adalah ;
·         Pengangkutan atau pengiriman induk dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengangkutan kering (Dry method)
·         Induk dimasukkan pada kotak styropoam
·         Lapisi dasar styropoam dengan menggunakan handuk atau busa yang dibasahi air laut.
·         Susun induk secara sejajar dan searah (bagian anterior tiram yang satu ditindih bagian dorsal tiram yang lain)
·         Setiap satu lapisan tiram diselingi dengan lapisan handuk atau busa yang dibasahi air laut, begitu seterusnya hingga wadah penuh.
·         Selipkan Es batu air laut yang dibungkus plastic, untuk menjaga suhu rendah agar tetap stabil selama perjalanan.

1.1.2  Pemeliharaan Induk di Laut
Pemeliharaan Induk di laut dengan mengisi pocket net atau keranjang kawat dengan induk tiram, kemudian diikat dan digantung pada rakit atau long line dengan kedalaman 5 – 8 meter, dan dalam setiap bulan tiram dibersihkan dari organisme yang menempel pada cangkang tiram.
Untuk menghindari adanya gangguan dari organisme pengebor (borring worn dan borring sponge), maka setiap 2 – 3 bulan sekali perlu dilakukan perendaman dengan air tawar atau larutan garam pekat.  Calon induk tiram yang direndam dalam larutan garam pekat, ternyata menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
1.1.3  Pemeliharaan Induk di Laboratorium
Pemeliharaan Induk di Laboratorium berbeda dengan pemeliharaan induk di laut, dimana pemeliharaan Induk di Laboratorium menggunakan bak yang terbuat dari bahan fiber glass untuk menempatkan induk tiram, dengan suhu air media antara 25 – 280C dan kondisi ruangan yang terkendali. Induk tiram diberi pakan berupa campuran beberapa jenis alga dengan ratio 4 liter per ekor/hari, sebagai pakan tambahan diberikan tepung jagung sebanyak 30 gram per ekor/hari. Tiram dengan gonad matang penuh yang diberi formulasi pakan tersebut akan menunjukkan respon memijah setelah 45 hari dari perlakuan dengan tingkat respon 30%.

1.2  SELEKSI INDUK
Untuk menyeleksi induk tiram dapat dilakukan di atas rakit atau di laboratorium.  Induk – induk tiram yang akan di seleksi ditempatkan pada tempat yang datar dengan posisi tiram berdiri atau dorsal di bawah.   Beberapa saat kemudian cangkan tiram akan terbuka dengan sendirinya, karena kekurangan olsigen.
Setelah cangkang tiram terbuka sebagian, segera gunakan alat pembuka cangkang (Shellopener), agar cangkang tetap bertahan terbuka, maka gunakan baji untuk mengganjal cangkang tersebut.  Dan dalam proses pembukaan cangkang tiram hendaknya jangan dipaksa, karena akan mengakibatkan pecahnya cangkang. 
Langkah berikutnya adalah melihat posisi gonad, disini kita dapat melihat posisi gonad dengan menggunakan alat Spatula.  Dengan Spatula, insang tiram akan kita buka dan posisi gonad akan terlihat jelas, maka secara fisual dapat kita ketahui tingkat kematangan gonadnya.  Kondisi gonad yang mata penuh atau stadia IV adalah seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki.
Klasifikasi tiram yang memenuhi syarat untuk menjadi induk adalah ;

ü  Ukuran antara 17 – 20 cm (DVM)
ü  Cangkang utuh/tidak cacat akibat serangan organisme pengebor (borring organism).
ü  Cangkang tidak rusak karena penanganan yang kasar.
ü  Warna cangkang terang.

Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad, induk yang baik kondisi gonadnya matang penuh atau stadia IV (Winanto dkk, 1991;1997;1998). Induk – induk yang telah memenuhi syarat seleksi segera dibawa ke laboratorium untuk di pijahkan.
Seleksi kematangan gonad dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali untuk memastikan bahwa induk tersebut siap dipijahkan atau tidak.  Induk siap pijah akan terlihat warna kekuningan pada kantong gonadnya bagi induk betina dan bagi induk jantan akan terlihat warna putih susu.

1.3  PEMIJAHAN
Induk tiram mutiara yang digunakan untuk pemijahan berasal dari alam maupun dari hasil budidaya yang dipelihara di rakit apung atau long line.
Pemejihan secara alami sering kali terjadi pada tiram yang telah dewasa, dalam kondisi gonad matang penuh tiram akan segera memijah apabila terjadi perubahan lingkungan perairan walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah shok mekanik yang terjadi karena perlakuan kasar pada saat cangkang dibersihkan dan akibat mengalami perubahan perbedaan tekanan, misalnya tiram alam atau tiram yang diambil dari habitat aslinya di dasar perairan laut, lalu dibawa ke tempat budidaya yang relative dangkal, sehingga memacu tiram untuk memijah. 
Menurut Winanto (1991), mengatakan bahwa pemijahan juga bisa terjadi pada waktu dilakukan penggantian air atau mengalirkan air ke dalam bak pemeliharaan induk.
Rekayasa pemijahan perlu dilakukan, apabila secara alamiah tiram tidak mau memijah di bak pemijahan, namun induk yang akan dipijahkan harus memenuhi syarat untuk dipijahkan.  Induk tiram mutiara dapat dipijahkan di laboratorium dengan mengunakan metode manipulasi lingkungan dan rangsang kimia.
1.3.1 Metode Manipulasi Lingkungan
Metode manipulasi lingkungan yang digunakan dan resiko keberhasilannya relatif tinggi yaitu dengan menggunakan metode kejut suhu (Thermal shock), fluktuasi suhu dan ekspose.  Beberapa teknik tersebut telah berhasil dilakukan oleh Loosanolp dan Davis (1963), Imai (1982), CFMRI (1991) dan Winanto dkk (1992;1995;1997;1998).
Kejut suhu merupakan metode yang umum digunakan, dalam teknik ini suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap dengan bantuan alat healter, dari suhu awal 280C menjadi 350C.  Induk – induk biasanya akan memijah setelah 60 -90 menit dari perlakuan, mula – mula terlihat induk bereaksi cepat membuka dan menutup cangkang.  Menjelang pemijahan induk akan membuka cangkang lebar – lebar dan keluarlah sel –sel gonad yang terlihat seperti keluarnya asap berwarna putih.
Metode manipulasi lingkungan yang lain yaitu flutuasi suhu, jika suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 280C ditingkatkan mejadi 33 - 350C, jika tiram belum memijah setelah 60 – 90 menit, maka suhu diturunkan kembali ke suhu awal, demikian seterusnya sampai induk memijah.
Metode ekspose juga sering digunakan dan ada kalanya dikombinasikan dengan metode kejut suhu, induk yang akan dipijahkan dikeluarkan dari dalam air selama 15 – 30 menit, pada kondisi tertentu kadang – kadang tiram perlu diekspose sampai sekitar 30 – 60 menit atau tergantung pada kondisi induk tiram. Setelah masa ekspose, induk dimasukkan kembali ke dalam bak pemijahan, induk yang matang gonad penuh biasanya akan cepat memijah.  Pemijahan bisa tidak terjadi jika kondisi gonad belum mencapai matang penuh, pada kondisi ini dapat dikombinasikan dengan metode kejut suhu.

1.3.2 Rangsang Bahan Kimia
Pengunaan bahan kimia juga sering dilakukan untuk memijahkan tiram mutiara, tetapi hasil pembuahan (fertilisasi) biasanya kurang baik.  Seperti halnya pada manipulasi lingkungan, pengunaan bahan kimia juga bertujuan merubah lingkungan mikro tempat pemijahan.  Secara ekstrim bahan kimia dapat dengan segera merubah pH air menjadi asam atau basa, yang bertujuan memberikan shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel – sel gonadnya. Jenis bahan kimia yang umum digunakan antara lain ;
*      Hidrogen Peroksida (H2O2)
*      Natrium Hidroksida (NaOH)
*      Amonium Hidroksida (NH4OH)
*      Amoniak (NH4) dan
*      Trace buffer
Hidrogen peroksida dan amoniak pada konsentrasi 1,532; 3,064 dan 6,128 milimolar dilarutkan ke dalam air laut normal atau air laut dengan pH 9,1.  Larutan tris (Tris buffer) atau Natrium hidrosida (NaOH) digunakan untuk merubah pH air menjadi 8,5; 9,0; 9,5 dan 10, ternyata dapat merangsang induk memijah.  Pada pH 9 dengan tris buffer dapat merangsang pemijahan sampai 78,6%, sedangkan pH 9,5 dengan NaOH berhasil memijahkan tiram sekitar 68,4%.  Penyuntikan larutan Amonium hidroksida (NH4OH) 0,2 ml ke dalam otot adductor berhasil merangsang pemijahan sampai 48%.
Beberapa perusahaan tiram mutiara di Indonesia dalam memijahkan biasanya menggunakan bahan kimia amoniak atau rangsangan sel gonad – jantan.  Teknik pemijahan rangsang gonad/sperma, dilakukan dengan cara menyeleksi induk tiram mutiara jantan yang matang gonad penuh kemudian dimatikan.  Caranya, cangkang tiram dibuka dengan menggunakan alat pembuka cangkang, kemudian otot adductornya dipotong dengan pisau, dagingnya dikeluarkan dengan hati – hati. Mantel dan insang dibuang, sehingga hanya tinggal bagian tubuh yang berisi gonad, bagian tersebut disayat – sayat dan dimasukkan ke dalam beker glass yang telah diisi air laut bersih, lalu diaduk hingga larut.  Larutan gonad/sperma tersebut disaring dan dimasukkan ke dalam bak pemijahan, sehingga induk – induk akan terangsang untuk memijah.  Namun, sebaiknya kedua cara itu tidak dilakukan, karena selain tingkat fertilisasinya rendah (feconditas rendah), biasanya banyak telur yang abnormal serta akan menguras isi gonad, sehingga telur – telur yang masih prematurpun akan ikut keluar.
Penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi tinggi hampir sama dengan tindakan aborsi, sehingga kurang menguntungkan bagi kesehatan induk.  Tindakan pemijahan dengan rangsang gonad sebenarnya tidak dianjurkan, karena teknologi pemijahan yang ada lebih diarahkan untuk masyarakat nelayan dan pesisir, sehingga induk merupakan aset yang sangat berharga disamping harganya relative mahal.
1.3.3 Proses Pemijahan dan Pembuahan
Selama prosesi pemijahan, induk jantan biasanya memijah terlebih dahulu baru diikuti induk tiram betina.  Pengamatan yang dilakukan di Balai Budidaya Laut mencatat, bahwa induk betina (Pintada maxima) mengeluarkan sel – sel telur sekitar 25 – 30 menit setelah induk jantan memijah.  Pembuahan terjadi di luar tubuh (eksternal)  di dalam media air dan pembuahan terjadi segera setelah sel telur dan sperma keluar.  Telur – telur yang belum dibuahi bentuknya menyerupai biji jeruk, sedangkan yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter antara 56 – 65 mikron.
Setelah semua telur dibuahi sesegera mungkin dipanen, dikumpulkan dengan menggunakan saringan bertingkat (Planktonnet) berukuran dari 100 µ atau 80 µ, 40 µ dan 20 µ.  Selain itu berfungsi sebagai tempat penampungan telur – telur, saringan juga bermanfaat untuk memisahkan antara kotoran dengan telur. Telur – telur yang telah terkumpul kemudian dibilas dengan air laut bersih dan dipindahkan ke dalam bak penetasan atau langsung ke bak pemeliharaan larva dijadikan satu, pada kasus ini priode penggantian air harus benar – benar diperhatikan, dan padat penebaran awal berkisar antara 5 – 7 sel/cc.

1.4    PEMELIHARAAN LARVA
Salah satu kegiatan yang paling menyita perhatian dan sangat menentukan dalam kegiatan pembenihan tiram mutiara adalah pemeliharaan larva. Priode pemeliharaan larva sebenarnya dimulai sejak larva stadia D, atau setelah berakhirnya stadia trocopore sampai stadia pediveliger atau plantigrade.
Kegagalan sering kali terjadi dalam produksi spat, karena penanganan pemeliharaan larva yang kurang baik, utamanya pada saat larva mengalami saat – saat kritis.  Di dalam pengelolaan pemeliharaan larva sangat perlu diperhatikan kondisi kualitas air; teknik serta priode penggantian air; jenis, jumlah dan teknik pemberian pakan; jenis, jumlah dan waktu pemasangan spat kolektor. Jika beberapa factor tersebut diperhatikan, maka produksi spat akan berhasil seperti apa yang kita harapkan.

1.4.1 Proses Perkembangan Awal
Proses pembelahan sel terjadi setelah 40 menit dari pembuahan atau setelah penonjolan polar I, polar II.  Lima menit kemudian sel mulai terbelah menjadi dua, 13 menit kemudian sel membelah menjadi empat, pemebelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel dan sel terus membelah menjadi multi sel atau stadia morula setelah 2,5 jam, pada setiap mikromernya berkembang silia kecil yang berfungsi untuk membantu embrio bergerak.  Stadia blastula dicapai setelah larva berumur 3,5 jam, gerakannya aktif berputar – putar.  Pada stadia gastrula (7 jam) bentuknya seperti kacang hijau, bersifat fhoto negative dan bergerak dengan mengunakan silia (Alagarswami, at al, 1983).
Beberapa menit setelah silia menghilang, maka berakhirlah fase gastrula dan mengalami metamorfose menjadi trochopore, ditandai dengan adanya flagella tunggal pada bagian anterior yang berfungsi untuk bergerak.

1.4.2 Perkembangan dan Pemeliharaan Larva
Stadia veliger atau larva bentuk D (D shape) dicapai setelah larva berumur 18 – 20 jam dan berukuran 70x80 mikron.  Pada stadia ini, larva sudah mulai diberi makanmikro alga Isochrysis galbana atau P. lutheri, jumlah pakan antara 3000 – 4000 sel/cc/hari diberikan dua kali (pagi dan sore).  Menurut Brusca (1990),  larva stadia veliger bersifat fhoto fositif, sehingga nampak berenang – renang disekitar permukaan air.
Menurut CMFRI (1991) dan Alagaswami at al, (1983), pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan phytoplankton spesies Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari.  Sedangkan menurut Baker (1994) member pakan jenis Isochrysis galbana strain Tahiti terhadap larva dengan kepadatan 20.000 sel/ml.
Setelah 12 – 14 hari larva mengalami metamorphose menjadi stadia umbo (130 x 135 mikron), ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian dorsal.  Padat penebaran larva mulai dikurangi setelah mencapai stadia umbo, dengan jumlah 5 – 7 ekor/cc.  Pakan yang diberikan ditambah menjadi 3000 – 4000 sel/cc/hari, aplikasinya dapat divariasi campuran antara Isochrysis galbana dan P. lutheri dengan perbandingan 1 : 1.  Flagelata Isochrysis galbana merupakan jenis pakan yang paling baik bagi larva bivalvia di daerah tropis (Ver, 1981).
Menurut Winanto dan Dhon (1998), Larva yang sehat dicirikan oleh aktifitas gerak, distribusi dan warna bagian perutnya.  Larva yang sehat nampak bergerak aktif berputar dengan menggunakan silianya, mereka akan menyebar merata terutama pada bagian lapisan permukaan dan tengah, sedangkan yang berada dibagian bawah kondisinya kurang baik.  Secara mikroskopis, larva yang sehat akan aktif memburu pakan sehingga bagian perutnya berwarna kuning tua, larva yang cukup akan (sedang) bagian perutnya berwarna kuning dan larva yang tidak mau makan perutnya berwarna kuning muda.
Menurut Loosanoff dan Davis (1963), bahwa warna larva dapat bervariasi tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi, tetapi larva yang sehat biasanya berwarna coklat keemasan, terutama dibagian saluran pencernaan (Digestive diverticulum).  Pada stadia awal, warna larva dapat berubah nyata bila mengkonsumsi pakan dengan warna yang berbeda.  Namun, seiring dengan pertumbuhan larva dan cangkangnyapun semakin bertambah tebal, maka pengaruh warna pakan tidak terlihat lagi.
Selama pemeliharaan larva, media air yang digunakan sebaiknya diperlakukan melalui sinar ultra violet, sehingga larva dapat terhindar dari infeksi jamur dan membunuh spora atau bakteri, serta kompititor yang hidup bersama di media pemeliharaan.  Untuk menjaga kualitas air, maka perlu dilakukan penggantian air setiap 2 – 3 hari sekali sebanyak 50 – 100 %.
Setelah larva mencapai stadia pediveliger atau umbo akhir, berumur antara 18 – 20 hari dan berukuran 200 – 190 mikron, larva mulai mencari tempat untuk menetap.  Fase transisi atau fase akhir kehidupan planktonis larva terjadi pada hari ke 20 – 22, atau disebut stadia platigrade.  Larva plantigrade ditandai dengan tumbuhnya cangkang baru disepanjang periphery, benang – benang bisus diproduksi untuk menempelkan diri pada substrat dan larva berukuran sekitar 200 x 230 mikron.
Menurut Segal (1990), menyatakan bahwa pada saat larva mengalami metamorphose dan fase menetap, merupakan masa kritis yang cukup ekstrim selama masa hidupnya.  Sedangkan Bayne (1976)  menyatakan bahwa aksi penempelan yang ditunjukkan oleh larva pediveliger merupakan gerakan menurun, dari stadia planktonis yang berada disekitar permukaan ke dasar perairan, disertai dengan gerakan berenang dan kebiasaan berputar – putar dan akhirnya mengeluarkan benang bisus untuk menempel pada substrat.  Hal inilah yang menandai dimulainya kehidupan bentik atau menetap di dasar.  Jika tidak menemukan substrat yang cocok, larva biasanya akan cenderung menunda priode metamorfosenya.
Penempelan adalah proses tingkah laku yang ditunjukkan oleh larva stadia akhir.  Awalnya larva menggunakan kakinya untuk berenang dan bergerak perlahan – lahan saat akan menempel pada substrat.  Jika jenis substrat yang ditempeli cocok maka larva akan menetap, selanjutnya akan terjadi proses metamorphose dari larva berubah menjadi spat (Juvenil).  Secara keseluruhan proses ini disebut menempel (setting) atau spatfall, yang merupakan fase kritis dalam siklus hidup tiram.  Identifikasi dari factor – factor yang mempengaruhi keberhasilan fase menempel atau spatfall akan sangat bermanfaat atau dapat memberikan informasi tentang prosedur yang lebih efisien dalam pengembangan hatchery.

1.5   PENDEDERAN
Priode spat merupakan awal dari kehidupan menetap tiram.  Pada stadia ini sangat dibutuhkan substrat yang cocok untuk menempel, kondisi awal spat merupakan masa yang sangat kritis, karena bisusnya belum permanen, titik kritis terjadi pada pada D 40 sampai dengan ukuran 3 cm dengan SR 5%.  Bila ada gerakan air yang sangat kuat, ada kemungkinan bisusnya akan putus, namun bisus akan segera disekresikan kembali.  Tetapi jika saat bisus putus dan spat jatuh ke dasar bak pemeliharaan, maka ada kemungkinan spat akan mati karena di dasar bercampur dengan kotoran maupun substansi lain yang kurang baik bagi kelangsungan hidup spat.
Pemeliharaan spat sebenarnya tidak sulit, bahkan boleh dikatakan jika masa pemeliharaan spat sudah melewati dua minggu pasti spat akan hidup.  Penanganan yang ekstra hati – hati pada awal pertumbuhan spat sangat diperlukan.  Setelah spat menempel dengan bisus permanen, keadaannya tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena pengelolaan air dapat dilakukan dengan system sirkulasi.
Pada umumnya spat yang berumur 2 – 3 bulan atau ukuran 5 – 10 mm DVM dapat dipindahkan ke tempat pembesaran di laut setelah 1 bulan dipelihara di laboratorium.  Benih yang masih menempel pada kolektor dimasukkan ke dalam pocket net dan dibungkus dengan waring (# 2 – 3 mm), untuk mencegah gangguan predator (jenis ikan Ostraciidae, Monacanthidae dan Blenidae) dan mengurangi menempelnya kotoran.  Ukuran mata waring yang lebih kecil kurang efektif untuk tingkat kelangsungan hidup, dapat menghambat pertumbuhan dan sulit membersihkan.  Setelah benih mencapai ukuran 2 – 3 cm mulai dijarangkan, dipelihara secara individu di dalam pocket net.  Pada ukuran 2 – 3 cm benih sudah dapat dijual atau dibesarkan hingga mencapai ukuran yang memenuhi syarat untuk mudidaya mutiara yaitu ukuran 15 cm DVM.
Pendederan tiram mutiara menggunakan dua metode yaitu metode rakit dan long line. Adapun kegiatan yang harus dilakukan selama pemeliharaan adalah pembersihan dan penjarangan serta seleksi menurut ukuran.
Dalam satu siklus pendederan memerlukan waktu selama 10 bulan dengan ukuran spat mencapai rata – rata 0,7 – 1 cm per bulan.


1.6     TEKNIK PENYUNTIKAN TIRAM MUTIARA

Dalam penyuntikan tiram mutiara perlu persiapan yang harus diperhatikan yaitu ; Seleksi tiram, pemuasaan dan persiapan alat/bahan Insersi

1.6.1 Seleksi Benih siap Operasi
Sebelum melaksanakan operasi atau penyuntikan, terlebih dahulu benih tiram diseleksi.  Tiram yang akan di operasi harus  memenuhi syarat yaitu, berumur 1,5 – 2 tahun dan berukuran 10 – 15 cm, serta tiram dalam kondisi sehat atau tidak cacat dan dalam keadaan bersih.

1.6.2 Pemuasaan (Yokusei)
Tiram yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemuasaan (Yokusei), yang tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah plankton yang dimakan agar tubuh tiram menjadi cukup lemas, dengan cara ini pada saat operasi tiram tersebut tidak terlalu kuat mengadakan reaksi terhadap sakitnya sayatan pada gonadnya.
Benih tiram yang di Yokusei, dimasukkan ke pocket keranjang lalu dibungkus menggunakan waring ukuran 1 mm. Pemuasaan dilakukan selama 3 – 5 hari, setelah itu tiram diangkat dari perairan dan pembungkus dibuka, baru kemudian memulai penyuntikan.
1.6.3 Alat dan Bahan Insersi
Ada beberapa alat dan bahan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan operasi yaitu ;
 

  •  Alat Operasi
Hikake (Penahan)
Piseto
SONYUKI dan SHAIBO OKURI (Pemasuk Inti dan pemasuk mantel)
MESU (pisau operasi)
DONYUKI (pembuka torehan)
SONYUKI (pembuka mantel
HERA dan KAI KOKI (pembuka mantel dan Forcep)
SHAIBOHASAM (Gunting,pemotong mantel)

  • Bahan Insersi
Siput donor
Siput siap operasi
Nukleus
  • Kegiatan Insersi
Pemotongan mantel
Pengambialan Inti
Pemasukan Inti
 
1.6.4 Pemeliharaan Tiram Pasca Pemasukan Inti
Setelah pemasangan inti selesai dilakukan, segera masukkan kembali tiram yang sudah dioperasi ke dalam pocket keranjang dan digantung di rakit pemeliharaan atau harus dengan segera dimasukkan ke dalam air dengan perlakuan yang sangat hati – hati untuk diistirahatkan.
Selama ± 3 bulan setelah pemasangan inti, dalam 3 hari sekali posisi tiram dibolak balik, itu biasanya di sebut masa Tento, yaitu posisi tiram yang tadinya domersal, tiga hari kemudian dibalik ke posisi samping, tiga hari berikutnya menghadap kebawah, begitu seterusnya selama masa tento. Dan kebersihannya tetap dijaga dari gangguan organisme.
Setelah masa pemeliharaan 18-24 bulan, panen dapat dilakukan dengan terlebih dahulu pengambilan contoh untuk memperkirakan besarnya ukuran mutiara yang diinginkan. Biasanya ditemukan bentuk–bentuk mutiara yang tidak bundar sempurna, bahkan ada bentuk lonjong barouk dan bintik-bintik/spol, hal ini dapat terjadi karena kurang cermatnya penanganan dalam masa pemeliharaan.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai 0,20 ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat di minati baik oleh pembeli dalam Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan produksi daerah lain.
Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau.
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang.

Saran
Diharapkan untuk masa – masa yang akan datang, perlu kiranya pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang aspek-aspek yang mempengaruhi budidaya tiram mutiara, baik itu aspek pemilihan lokasi (faktor resiko, factor ekologi), Sarana pembenihan, Biologi tiram mutiara, Kultur pakan hidup, dan Hama penyakit tiram mutiara.


DAFTAR PUSTAKA

Alagarswami, at al, 1983. Larva Rearing and Productionof Spat of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould). Aquacultur 3.Elsivier Science Publisher.B.V.Amsterdam. Pg.287-301.
Anonymous, 2006.     Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lombok Timur.
Bayne, 1976.    Mutiara, Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Brusca, 1990.   Merine Ecology.
Baker, 1994.   
CMFRI, 1991.    Pearl Oyster Farming and Pearl Cultur. Training Manual No.8. Regional Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Loosanoff, V dan Davis, H., 1963. Rearingof Bivalve Mollusks. US Beureuof Commercial Fisheris Biological Laboratory. Mildford, Connecticut. 130 p.
Segal, E., 1990.     Light, Animal, Invertebrates.Merine Ecology, A Comprehensive, Integrated Treatise on Life in The Oceans and Coatal Waters. Vol I.Environmental Factors.PartI. Wiley-Interscience.London,Pg: 159-212.
Ver, 1981
Winanto,T., 1991. Pembenihan Tiram Mutiara. Buletin Budidaya Laut no.1. Balai Budidaya Laut. Lampung
Winanto,T dan S.Basi Dhon., 1998. Rekayasa Teknologi Pemeliharaan Larva Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Rekayasa Teknologi Pembenihan Lintas UPT, Ditjen. Perikanan, Maret 1998. Puncak, Bogor.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar